Hutan merupakan sumber daya alam yang seharusnya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat, sebagaimana yang telah diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa bumi, udara, dan air serta yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat1. Dalam rangka memenuhi tanggung jawab tersebut maka Negara berkewajiban melaksanakan tata kelola pengelolaan sumber daya alam yang baik khususnya pada sektor kehutanan. Dengan kompleksitas persoalan kehutanan saat ini, pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah langkah yang signifikan menuju perbaikan tata kelola hutan di Indonesia. Salah satunya disebabkan karena absennya Negara dalam fungsi pengelolaan di tingkat tapak. Peran pemerintah yang lebih condong ke fungsi administrasi dan perizinan menyebabkan kontrol dan pengawasan yang lemah di tingkat tapak. Oleh karena itu diperlukan adanya struktur kelembagaan dan administrasi yang efektif dalam pengelolaan sumber daya hutan di tingkat tapak dan mampu membuka ruang konsultasi dan partisipasi publik sehingga pengelolaan sumber daya hutan dapat diarahkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan berkelanjutan. KPH sebagai unit manajemen dalam pengelolaan hutan di tingkat tapak merupakan wujud responsif Negara untuk mengurus hutan sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam upaya percepatan pembangunan KPH, pada tahun 2009 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 6 Tahun 2009 tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan, yang kemudian sampai tahun 2012 adanya keputusan penetapan wilayah KPHP dan KPHL pada 28 provinsi2, penetapan wilayah KPH Konservasi pada 20 taman nasional3, dan penetapan wilayah 28 KPH Model pada 23 provinsi4. Selain itu, juga ditetapkannya aturan-aturan turunan sebagai panduan dalam implementasi pembangunan dan operasionalisasi KPH.