Masyarakat Aru punya sejarah panjang konflik tenurial, melawan rencana investasi lahan skala besar yang mengancam ruang hidupnya. Sejak tahun 1990-an masyarakat telah berhadapan dengan korporasi yang mengeksploitasi hutan dan sumber daya ikan di Aru. Pada tahun 2013 masyarakat melakukan penolakan besar terhadap rencana perkebunan tebu yang luasnya hampir 70% luas daratan Aru. Terakhir, tahun 2018 masuk izin peternakan sapi terluas seIndonesia sekitar 61.000 hektare di Aru Selatan juga memperoleh respon penolakan dari masyarakat. Saat ini, semua ancaman itu hadir kembali dalam berbagai bentuk dan wajah baru. Pada tahun 2021, PT Wana Sejahtera Abadi melakukan re-aktivasi1 izin pemanfaatan hutan alam (PBPHHA) seluas 54.560 hektar di pulau kecil Wokam dan Woham, Kepulauan Aru. Ada empat kecamatan yaitu Kec. Aru Utara Timur Batuley (desa Kobamar dan Kompane), Kec. Sir-Sir (desa Bardefan dan Goda-Goda), Kec. Pulau-Pulau Aru (desa Gorar, Lau-Lau, Tungu, Tunguwatu, dan Nafar), dan Kec. Aru Tengah (desa Selibata-Bata dan Wakua) yang terdampak oleh aktivitas Perusahaan ini. PT Wana Sejahtera Abadi memperoleh penolakan keras dari masyarakat Aru sehingga aktivitas perusahaan tidak beroperasi sejak izin dikeluarkan di tahun 2012. Selain itu, pada Juni tahun 2022, Pemerintah Provinsi Maluku telah mengeluarkan surat rekomendasi izin PBPH untuk dua Perusahaan dengan total luasan konsesi sekitar 191.955 hektare2. PT Bumi Lestari Internasional dan PT Alam Subur Indonesia merupakan anak perusahan dari Muller Karbon Kapital bagian dari grup besar Perusahaan induk Melchor Group Indonesia atau Melchor Tiara Pratama (MTP)3. Perusahaan ini berupaya mengembangkan proyek perdagangan karbon yang diberi nama Cendrawasih Aru Project seluas 591.957 hektare4.