Play Video
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

 

Pada tahun 1980-an laju deforestasi Indonesia mencapai 1 juta hektare/tahun, kemudian meningkat sekitar 1,7 juta hektare/tahun pada awal 1990-an, bahkan semakin meningkat pada 1996 menjadi 2 juta hektare/tahun. Meningkatnya laju deforestasi akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumberdaya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan untuk dieksploitasi bagi kepentingan politik dan keuntungan pribadi (FWI/GFW, 2001). Kemudian di periode selanjutnya, laju deforestasi mengalami penurunan sekitar 1,5 juta hektare/tahun selama 2000-2009 (FWI, 2011) dan menjadi 1,1 juta hektare/tahun pada periode 2009-2013 (FWI, 2014). Penurunan laju deforestasi ini bukan karena prestasi pemerintah berhasil melindungi hutan, melainkan karena luas hutan yang semakin menyusut. Sampai 2015 seluas 19,6 juta hektare diberikan untuk 269 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan 10,7 juta hektare untuk 280 perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) (KLHK, 2015). Sementara sampai 2017, seluas 12,27 juta hektare diberikan untuk 1412 perkebunan kelapa sawit (Dirjenbun, 2017) dan sebanyak 9433 Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk perusahaan tambang (PWYP, 2017). Jumlah dan luasan izin-izin tersebut tentu tidak sebanding dengan hak pengelolaan hutan dan lahan yang diberikan Pemerintah kepada masyarakat. Tidak hanya soal ketimpangan penguasaan, persoalan pengelolaan hutan yang buruk juga terlihat dari tumpang tindihnya antar perizinan dan klaim wilayah kelola masyarakat. Setidaknya ada 14,7 juta hektare areal penggunaan lahan yang tumpang tindih antara HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan (FWI, 2014). Kajian Forest Watch Indonesia (FWI) 2017 di delapan Provinsi tersebut menemukan pada periode 2013-2016 ada 8,9 juta hektare areal penggunaan lahan yang tumpang tindih antara HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan. Bahkan ada 526,8 ribu hektare wilayah adat tumpang tindih juga dengan konsesi-konsesi tersebut. Terdapat dua dampak yang terlihat jelas akibat tidak pernah terselesaikannya permasalahan tumpang tindih pengelolaan hutan dan lahan. Tumpang tindih pengelolaan hutan dan lahan berdampak pada deforestasi dan konflik sosial. Deforestasi akibat tumpang tindih pengelolaan terjadi akibat adanya izin-izin perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang berada di dalam kawasan hutan. Selain itu, izin-izin konsesi baik itu HPH, HTI, perkebunan, ataupun pertambangan yang berada di dalam wilayah moratorium juga berdampak pada hilangnya hutan alam di wilayah yang sebenarnya tidak diperbolehkan adanya izin pengelolaan. Kondisi hutan di delapan Provinsi menunjukkan bahwa sampai tahun 2016 menyisakan 27,3 juta hektare atau 41 % dari luas daratan delapan Provinsi tersebut. Provinsi dengan luas hutan terbesar adalah Kalimantan Timur dengan luas sekitar 5,9 juta hektare, sedangkan Provinsi dengan luas hutan terkecil adalah Sumatera Selatan dengan luas 0,73 juta hektare. Pada kurun waktu 2013-2016, berdasarkan analisis FWI menunjukkan adanya kehilangan hutan atau deforestasi seluas 1,8 juta hektare di delapan Provinsi. Perubahan tutupan hutan yang tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Timur dengan luas sekitar 472 ribu hektare, di ikuti oleh Provinsi Sulawesi Tengah dengan luas sekitar 373 ribu hektare dan Kalimantan Barat yaitu sebesar 241 ribu hektare. Kehilangan hutan alam atau deforestasi kerap terjadi akibat tumpang tindih antara kawasan hutan dan perkebunan. Begitu juga halnya tumpang tindih yang terjadi antara kawasan hutan dan pertambangan. Aktivitas-Aktivitas yang terdapat pada sektor perkebunan dan pertambangan sebagian besar dapat menghilangkan hutan alam dari area-area yang terjadi tumpang tindih tersebut.

Penerbit :
Tahun Terbit :
2019
ISBN/ISSN :

Comment :

Rating:
4/5

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Get the news all the time. Delivered to your inbox!

Copyright © FWI-2024 | All Rights Reserved