Jakarta, 01 Februari 2018. Mengawali tahun 2018, Forest Watch Indonesia (FWI) memaparkan kondisi hutan alam terkini, termasuk persoalan implementasi tata kelola hutan dan lahan yang masih lemah. Tumpang tindih perijinan, angka deforestasi dan konflik tenurial yang tinggi, belum optimalnya kinerja pembangunan KPH, dan sulitnya mewujudkan keterbukaan informasi publik, beberapa temuan yang mewarnai pemantauan oleh FWI sejauh ini. Temuan-temuan tersebut disampaikan FWI melalui dialog dan diskusi dengan rekan-rekan media (press briefing) hari ini di Jakarta. Periode 2013-2016, pantauan FWI di delapan (8) provinsi, yaitu Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tengah, menunjukkan ada sekitar 8,9 juta ha penggunaan lahan, yang saling bertumpang tindih antara konsesi HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan. Ditambah ada sekitar 1,5 juta ha wilayah adat, yang bertumpang tindih dengan areal konsesi. Kondisi ini berdampak terhadap hilangnya sekitar 356 ribu ha hutan alam dan terdapat 1.084 kejadian konflik selama periode 2013-2017, terutama pada areal tumpang tindih. Potret tumpang tindih penggunaan hutan dan lahan akibat tata kelola hutan yang lemah, berdampak pada hilangnya tutupan hutan alam serta meningkatnya konflik SDH dan lahan. “Dibutuhkan upaya serius untuk memperbaiki tata kelola hutan. Upaya ini harus didukung oleh satu pijakan awal yang kokoh, yaitu ketersediaan informasi yang memadai, terbuka, dan terdistribusi dengan baik bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, akan terbuka pula peluang publik untuk berpartisipasi dalam mengawasi bentuk-bentuk pemanfaatan hutan dan lahan. Yang pada akhirnya akan membantu untuk mengungkap praktik-praktik korupsi, mencegah hilangnya pendapatan negara, menyesaikan konflik tenurial hingga menurunkan deforestasi,” ungkap Linda Rosalina, Juru Kampanye FWI.