Penolakan dari berbagai kelompok masyarakat tidak menghalangi disepakatinya pengesahan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja pada Senin (5/10/2020) lalu. Rapat Paripurna di gedung DPR turut dihadiri Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Menkeu Sri Mulyani, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, Mendagri Tito Karnavian, Menaker Ida Fauziyah, Menkum HAM Yasonna Laoly dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Dalam Rapat RUU Cipta Kerja tersebut, sebanyak 7 Fraksi menyetujui pengesahan RUU Cipta Kerja tersebut. Sementara 2 Fraksi yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera menolak. Dilaksanakannya rapat paripurna dan hadirnya para pejabat tinggi negara menegaskan abainya pemerintah terhadap suara rakyat yang terus menolak disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja. Abainya pemerintah tidak sekali ini saja terjadi, yang berakibat pada kegagalan gerakan-gerakan sosial di Indonesia pasca reformasi. “Gerakan sosial masa Pemerintahan Jokowi, yang diinisiasi oleh Civil Society di Indonesia, dan merupakan gerakan melawan perusakan lingkungan dan pelanggaran hak atas tanah bukan sekali ini saja dilakukan. Gerakan seperti Save Kendeng, Tolak NYIA, Jakarta Tolak Reklamasi, Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa, hingga Gejayan Memanggil atau Reformasi Dikorupsi diinisiasi oleh Civil Society bersama dengan masyarakat terdampak dan atau mahasiswa. Namun kita lihat gerakan tersebut bernasib sama dengan gerakan Tolak Omnibus Law Cipta Kerja, diabaikan oleh Pemerintah dan Wakil Rakyatnya. Akhirnya timbul kekecewaan masyarakat dan memperlihatkan pada kita semua bahwa kualitas demokrasi di Indonesia sudah merosot sekali,” ungkap Agung Ady, pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI). Berbagai gerakan penolakan #BatalkanOmnibusLaw dan #JegalSampaiBatal terjadi di berbagai wilayah di Indonesia sebagai bentuk kekecewaan dan ketidakpercayaan Rakyat terhadap sikap Pemerintah yang mendukung pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja. Aksi demo buruh yang menolak Pengesahan RUU Omnibus Law juga bermunculan di berbagai wilayah di Indonesia. Sikap #MosiTidakPercaya Rakyat terhadap pemerintah yang pro terhadap investor semakin meningkat. Selain itu proses pembahasan terkait Omnibus Law ini memunculkan berbagai kritik karena dinilai “tidak transparan” tanpa melibatkan partisipasi masyarakat dan proses pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja terkesan “terburu-buru” di tengah pandemi Covid-19. Pasal-pasal dalam Omnibus Law Cipta Kerja dinilai sangat merugikan masyarakat dan lebih menguntungkan kepentingan investor, tanpa mementingkan aspek proteksi lingkungan hidup. Mufti F. Barri, manajer Kampanye & Advokasi FWI membeberkan, “Salah satu pasal yang kami nilai merugikan yaitu terkait dengan izin lingkungan atau AMDAL. Sebelumnya dalam Pasal 40 ayat 1 Undang-Undang No 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan atau kegiatan. Namun faktanya dalam UU Omnibus Law Ciptaker, Pasal 40 mengenai izin lingkungan justru dihapus dan diganti dengan persetujuan dari pemerintah. Ini jelas sangat berbahaya, karena memberikan karpet merah kepada investor dan membiarkan keran investasi semakin terbuka lebar di Indonesia.” Bagi investor, Omnibus Law Cipta Kerja memberikan paket tiga M, mulus, mudah, dan murah. Perizinan industri ekstraktif bisa berjalan mulus, perolehan akses terhadap lahan dengan cara yang mudah, ditambah dengan tenaga kerja yang bisa diupah murah. Namun sebagai gantinya, nasib rakyat, masyarakat adat, pekerja, lingkungan yang baik dan kekayaan sumber daya alam bangsa ini sedang dipertaruhkan. Omnibus Law Cipta Kerja bukan hanya abai terhadap hak asasi manusia tetapi juga lingkungan. Sudah saatnya civil society, petani, nelayan, pekerja, mahasiswa dan segenap lapisan masyarakat menyingkirkan perbedaan tujuan dan menggalang kekuatan untuk membangkitkan lagi demokrasi di Indonesia. Gerakan sosial menolak Omnibus Law Cipta Kerja masih bisa diperjuangkan bersama!