Jakarta, 27 November 2023 – Dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP), yang akan mengatur alokasi dana USD 21 miliar dolar dari skema Just Energy Transition Partnership (JETP), co-firing biomassa di 52 PLTU dimasukkan dalam kategori pendanaan transisi energi.
Hal ini bermasalah, karena energi dari pembakaran biomassa bersifat problematik untuk disebut sebagai solusi pengurangan emisi karbon. Kayu adalah bahan bakar yang buruk, polutif, dan padat karbon. Namun, ia dianggap netral karbon karena emisi dari pembakaran kayu diasumsikan akan ditangkap kembali oleh pohon yang ditanam di perkebunan kayu energi, atau lazim disebut Hutan Tanaman Energi (HTE).
Pembakaran kayu tetap menghasilkan hutang karbon yang butuh puluhan tahun untuk dilunasi – waktu yang terlalu panjang dalam rangka melawan perubahan iklim. Hutang ini terjadi karena penyediaan feedstock biomassa diperoleh dari pembukaan kebun energi yang menghilangkan hutan alam. Dalam skala besar, biomassa kayu tidak akan netral karbon karena kecepatan penyerapan karbon lewat pertumbuhan pohon baru tidak akan menandingi kecepatan pembakaran kayu.
Dalam praktik co-firing, ia akan dimanfaatkan untuk pencitraan bersih dan menunda pemensiunan PLTU. Hal ini akan memperpanjang penderitaan warga di sekitar PLTU, yang didera polusi dan limbah. Bertentangan dengan beberapa klaim pemerintah, praktik co-firing tidak mengurangi polusi dan limbah.
“Penggunaan biomassa akan memunculkan masalah baru bagi keberlangsungan alam dan manusianya. Kalau mendapatkan dukungan biaya internasional, dia akan semakin memperburuk pencemaran di hilir. Masyarakat di sekitar PLTU setiap harinya akan terus dibanjiri polusi dari aktivitas pembakaran batubara dan serbuk kayu. Sebelum co-firing diterapkan di dua PLTU di Jawa Barat warga sudah merasakan dampak kesehatan dari aktivitas PLTU, ketika ditambah dengan campuran serbuk kayu, maka potensi gangguan kesehatan warga sekitar akan lebih parah,” ujar Wahyudin, Direktur Walhi Jawa Barat.
“Menurut kami CIPP cuma akal-akalan untuk peluang bisnis, dan kami merekomendasikan pendana internasional untuk tidak masuk ke biomassa. Ketimbang dijadikan bisnis yang mengancam hutan alam dan wilayah kelola masyarakat, pemerintah lebih baik meningkatkan status kawasan hutan dan memberikan pengelolaannya kepada masyarakat sekitar hutan agar mereka mendapatkan kedaulatan agraria,” pungkas Wahyudin.
Kebutuhan suplai biomassa kayu dalam skala besar juga menyebabkan ketergantungan akan sumber daya hutan dan lahan. Laporan Forest Watch Indonesia (2023), memproyeksikan bahwa deforestasi hutan alam untuk memenuhi kebutuhan co-firing di 52 PLTU di seluruh Indonesia dapat mencapai 4,65 juta hektar, yang setidaknya berasal dari 43 perusahaan HPH, 147 perusahaan HTI, serta 1124 konsesi Perhutanan Sosial (PS). Kebijakan co-firing akan terus mendorong ekspansi perusahaan-perusahaan kehutanan (PBPH-HA/HPH dan PBPH-HT/HTI) dan bahkan PS untuk melakukan pembangunan hutan tanaman energi. Pembangunan hutan tanaman energi dengan mengorbankan hutan alam bukanlah cara yang berkeadilan ataupun berkelanjutan dalam transisi energi