Tulisan ini mengkaji dampak bencana banjir dan aktivitas pertambangan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat di Teluk Weda, Halmahera Tengah. Banjir yang sering terjadi di wilayah ini, dipicu oleh deforestasi dan aktivitas pertambangan, menjadi perhatian serius. Dari 2019 hingga 2024, tercatat 19 kejadian banjir, salah satu yang terparah terjadi pada Juli 2024, ketika Sungai Kobe meluap, menyebabkan genangan air setinggi dua meter di desa-desa seperti Luko Lamo dan Lelilef. Bencana hidrometeorologi, khususnya banjir, erat kaitannya dengan curah hujan tinggi dan aktivitas manusia, seperti deforestasi yang mengurangi tutupan lahan dan meningkatkan limpasan air permukaan. Studi ini menunjukkan adanya korelasi antara berkurangnya tutupan hutan dan meningkatnya risiko banjir. Aktivitas pertambangan nikel yang didorong oleh permintaan global untuk baterai kendaraan listrik, telah mengubah lanskap Teluk Weda secara signifikan. Ekspansi Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), pusat pengolahan nikel, menyebabkan deforestasi dan kerusakan lingkungan. Luas hutan di wilayah ini menurun dari 109.000 hektar pada 2016 menjadi 102.000 hektar pada 2024, sementara lahan terbuka meningkat dua kali lipat akibat aktivitas industri dan pertambangan. Menggunakan pemodelan spasial-temporal, studi ini menganalisis lima daerah aliran sungai (DAS) di Teluk Weda. Hasilnya menunjukkan bahwa wilayah dengan deforestasi besar, terutama di sekitar operasi tambang, memiliki risiko banjir yang lebih tinggi. Dampak sosial-ekonomi dari banjir ini cukup signifikan, dengan sekitar 10.449 orang dan 7.129 rumah tangga berada di area berisiko tinggi. Selain itu, banjir juga mengancam lahan pertanian seluas 777 hektar dan infrastruktur jalan sepanjang 32 kilometer. Estimasi kerugian ekonomi dari bencana ini mencapai Rp 371,3 miliar, dengan dampak terbesar dirasakan oleh rumah tangga.